Kamis, 29 Desember 2011

Legiun Mangkunegaran

(Bendera nya Legion Mangku Negoro 1882)

(Legion Mangkunegara 1930-an)

(Mangkunegara Legion 1933)

(Prajurit Legion Mangkunegara Jaman K.G.P.A.A Mangkunegara VI)

(Opsir Kavaleri Legiun Mangkunegaran)

(Seragam Perwira Mangkunegaran Jaman Mangkunegaran II)

(Seragam Prajurit Mangkunegaran Jaman K.G.P.A.A Prangwedana / MN II)

(Seragam Prajurit Jaman Mangkunegara I)







»»  Selengkeapnyaaaa...

Senin, 05 Desember 2011

Dekonstruksi Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta





Bagi manusia Jawa, selain sebagai tempat tinggal, rumah juga merupakan sesuatu yang selalu dinapasi oleh manusia dan memiliki jiwa. Oleh karena itu, rumah Jawa tidak sekedar memperhatikan segala aspek yang terkait dengan arsitektur secara fisik, tetapi juga memperhatikan segala simbol, baik dari jiwa manusia sendiri, lingkungan (alam), maupun Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Begitu pun yang terjadi pada proses rancang bangun Keraton Surakarta. Keraton Surakarta dibangun dengan memikirkan unsur magis dan kesakralan yang tinggi, terkait dengan posisi geografis, sejarah, serta wahyu yang selalu dihubungkan dengan kekuatan mistis. Kekuatan mistis yang dimaksud di sini adalah kekuatan yang tak tampak, hasil perpaduan antara kekuatan lahiriah dan batiniah; logis dan non logis; kasar dan halus; tampak dan tidak tampak; fisik dan metafisik. Manusia arkhais Jawa sangat dikenal dengan prinsip mikrokosmos dan makrokosmosnya termasuk dalam tubuh Keraton Surakarta. Keraton Surakarta dalam persepsi keyakinan manusia Jawa dianggap sebagai pusat kosmos budaya Jawa.

Namun tujuan dan dasar awal pembangunan Keraton Surakarta tersebut ternyata dalam perjalanannya tidak sejalan dengan perkembangan zaman, terutama setelah pergantian kepemimpinan raja, masuknya faktor keberadaan penguasa kolonial Hindia Belanda, hingga pada akhirnya Indonesia merdeka. Dekonstruksi ini disebabkan tidak lain karena kematian metafisika Keraton Surakarta, yang secara tidak langsung dapat dikatakan diingkari oleh pihak-pihak yang tidak memahami konsep-konsep yang dianut di dalam tubuh Keraton Surakarta. Pada akhirnya kini Keraton Surakarta seakan telah mati suri.

Sebelum mendapatkan pengaruh dari kolonial, Keraton Surakarta dikenal sebagai penguasa Jawa, pewaris Dinasti Mataram, yang memiliki dominasi kekuasaan dalam bidang pemerintahan, sosial, agama, serta pengembangan dan pelestarian kultur Jawa. Pada masa itu gelar raja, yaitu Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panatagama, benar-benar memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat. Raja dianggap wakil Tuhan di muka bumi sehingga raja dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan, di luar kekuatan dan kekuasaan manusia biasa.

Namun setelah kolonial mulai menguasai tanah Jawa, sedikit demi sedikit pengaruh yang dibawanya pun mulai mengikis sendi-sendi yang dimiliki Keraton Surakarta. Dimulai dengan sedikit demi sedikit meminta tanah-tanah yang dimiliki Keraton, terutama daerah pesisir atau mancanegara, yang jauh dari inti Keraton, lalu politik adu domba yang memecah belah kekuasaan hingga akhirnya Keraton Surakarta terbagi menjadi empat yaitu Keraton Kasunanan Surakarta (Keraton yang dikenal sebagai Keraton Surakarta), Keraton Kasultanan Yogyakarta, Keraton Mangkunegaran Surakarta, serta Keraton Pakualaman Yogyakarta. Kemudian tipu daya yang dilakukan pihak kolonial yang terkesan membodohi pihak Keraton Surakarta sehingga Keraton Surakarta pada akhirnya menjadi boneka kolonial.

Pun tidak berhenti sampai saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Setelah Keraton Surakarta menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sedikit demi sedikit metafisika yang dibawa pada saat awal pembangunan, perlahan mulai luntur. Predikat swapraja atau Daerah Istimewa Surakarta dicabut setelah melalui pergantian gubernur. Di samping itu, posisi sentral Keraton Surakarta pun mulai bias dengan adanya pemerintahan kota.

Perjalalanan sejarah Keraton Surakarta khususnya setelah pindah lokasi ke posisinya sekarang, hingga bergabung dengan NKRI, menunjukkan bahwa Keraton Surakarta sejatinya nyaris tak pernah berdiri sendiri. Sebelum Indonesia merdeka, Keraton Surakarta telah menjadi boneka bagi kolonial. Dengan berbagai strategi politiknya, kolonial telah menguasai sebagian besar asset Keraton Surakarta. Dan pihak Keraton terlalu ikhlas untuk menerima semua perlakuan tersebut tanpa banyak perlawanan, terkecuali pada saat pemerintahan Pakubuwono VI. Namun perlawanan tersebut pun meminta pengorbanan dengan diasingkannya Pakubuwono VI ke Ambon.

Kini setelah merdeka, Keraton pun tidak memiliki otoritas pemerintahan sendiri. Keraton menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai bagian dari negara, Keraton justru terlihat sangat semakin kehilangan kewibawaannya. Kompleks Keraton Surakarta kini telah dibagi-bagi ke dalam empat bagian yang masuk ke dalam bagian dari empat kelurahan di Surakarta. Pembagian Keraton menjadi empat bagian ini bukankah tidak lain semakin memecah tubuh Keraton Surakarta yang tanah-tanah kekuasaaannya telah dipecah-pecah saat kolonial masih berkuasa.

Jika negara memiliki alasan untuk mengurangi beban anggaran pembiayaan perawatan keraton, seperti kebersihan lingkungan dan pengecatan tembok benteng, sejauh hal tersebut dapat direalisasikan, tentunya tidak menjadi masalah. Namun, fakta yang berada di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Kompleks Keraton Surakarta saat ini terlihat sangat kumuh dan terpuruk tidak terawat. Ruang-ruang yang kini dijadikan ruang publik masyarakat Surakarta seperti Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan pun seperti tertelantarkan. Keraton rasanya benar-benar telah kehilangan kewibawaannya.

Kesadaran negara yang telah mengambil alih penanganan bagian-bagian kompleks Keraton Surakarta belum menunjukkan konsekuensi atas putusan yang telah diambil pada masa lalu. Ditambah dengan sikap Keraton Surakarta yang terkesan pasrah atas status yang diembannya, memperlihatkan Keraton Surakarta telah gagal mempertahankan eksistensinya. Keraton Surakarta yang dahulu kala merupakan penguasa tanah Jawa, kini terkesan telah kalah dilibas oleh tata aturan pemerintah.

Keraton saat ini juga lebih dikesankan sebagai cagar budaya yang merupakan asset pariwisata yang menunjang aspek komersialisme. Keraton Surakarta di masa kini telah menjadi cagar budaya yang harus dilestarikan. Tetapi apakah benar hal tersebut sesuai dengan tujuan undang-undang dan keputusan presiden yang pernah dikeluarkan? Jika kemudian Keraton yang menjadi asset pariwisata telah didominasi berbagai kepentingan kapitalisme dan komersialisme. Jadi bukannya Keraton Surakarta yang dominasi menunjang aspek komersial, tetapi justru tubuh baru yang tumbuh di bagian tubuh tersebut, baik dalam skala kecil maupun skala besar; pedagang kaki lima, maupun pengusaha pusat perbelanjaan.

Kalangan pengusaha kelas atas memanfaatkan lahan di dekat Gapura Gladag dengan membangun pusat-pusat perbelanjaan modern, sedangkan rakyat biasa memanfaatkan hampir setiap sudut kompleks Keraton yang memiliki lokasi strategis. Lihat saja, mulai dari area Gapura Gladag hingga Gapura Pamurakan terkadang dapat dijumpai pedagang kaki lima. Kemudian berbelok ke kanan terdapat kios-kios buku bekas. Berbelok ke kiri terdapat kios-kios batu akik, kaca mata, dan berbagai macam kios di sekeliling alun-alun utara. Sedangkan di Alun-Alun Selatan yang dalam filosofinya identik dengan tanah yang kosong dan hampa, kini telah menjadi sangat kontras karena setiap sore dapat dijumpai keramaian pasar kaget. Dan di Alun-Alun Selatan tersebut, keberadaan kerbau bule milik Keraton Surakarta, menjadi unsur magnet komersial juga meski dengan mirisnya ditempatkan di area Sitihinggil Selatan.

Kemegahan skyline Keraton Surakarta kini telah pudar dilibas ketinggian bangunan pusat perbelanjaan. Demikian pula dengan bangsal-bangsal yang terdapat di sekeliling alun-alun utara. Bangsal-bangsal tersebut jika diamati memang masih ada, namun kondisinya tidak terawat dan tertutup dengan gelaran kios para pedagang.

Tidak hanya secara fisik kapitalisme dan komersialisme yang terjadi, bahkan secara non fisik pun mudah dijumpai yang mana hal tersebut pernah sangat mengecewakan raja. Kapitalisme dan komersialisme di lingkungan Keraton Surakarta yang bertalian secara langsung dengan unsur non fisik dimulai dengan pemungutan pembayaran pada perayaan sekaten dan penggunaan area Keraton sebagai lahan parkir.

Kontras sekali dengan keadaan ekonomi di dalam Keraton Surakarta. Raja yang tidak dapat lagi memungut pajak, dihadapkan pada kewajiban besar yaitu menjamin kesejahteraan para abdi dalem yang entah meskipun digaji sangat kecil, kesetiaan mereka masih utuh. Para abdi dalem masih begitu menghargai junjungannya, masih menganggap bahwa Keraton membawa berkah dan keberuntungan bagi kehidupan mereka. Di samping itu, raja juga masih menanggung keterjagaan dan perawatan arsitektur keraton, namun bahkan hal yang dalam taraf kecil pun masih luput, sepeti pengecatan tembok beteng atau perbaikan jaringan listrik. Yang tidak kalah penting adalah terkait dengan kedudukan Keraton Surakarta saat ini yaitu sebagai pusat dan pengayom budaya Jawa. Keraton harus menjaga eksistensi budaya dan ritual yang sudah turun temurun dilakukan di Keraton Surakarta pada event-event tertentu. Sedikitnya subsidi dana dari pemerintah menambah lengkap sudahlah nasib keterpurukan Keraton Surakarta yang telah diterjang realitas globalisasi dan modernisasi.

Mungkin tidak banyak lagi yang peduli dengan hal tersebut, setelah globalisasi menyerang bangsa ini, dan mempengaruhi kehidupan dan budaya manusia Jawa. Budaya ketimuran manusia Jawa yang dikenal sebagai masyarakat arkhais, kini telah banyak ditinggalkan. Generasi muda mayoritas telah memalingkan muka dari budaya ketimuran dan menyambut trend yang berasal dari dunia barat. Memang tidak salah jika dikatakan budaya barat banyak membawa keuntungan bagi bangsa ini. Sebagian besar teknologi maju pun berasal dari dunia itu yang memang menjunjung tinggi realisme. Namun bukankah akar budaya manusia Jawa juga memiliki cirri khas tersendiri, yang menjadi karakter unik masyarakat timur.

Dilihat dari segi pola tata ruang, Keraton Surakarta masih dapat dikatakan dalam kondisi baik dan masih terjaga. Pola tata ruang tersebut setidaknya masih mewakili sedikit aspek metafisika Keraton Surakarta. Pola tata ruang Keraton Surakarta dari Gapura Gladhag sampai dengan Gapura Gading merupakan simbolisasi perjalanan kehidupan manusia dari lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga akhirnya menghadap kepada Sang Maha Kuasa. Simbolisasi ini jika dimaknai lebih lanjut merupakan ajaran tentang pandangan dan sikap hidup manusia Jawa. Hal ini hanyalah salah satu dari simbol-simbol lain yang diaplikasikan dalam fisik arsitektur Keraton Surakarta. Banyaknya simbol tersebut sesuai dengan prinsip dan karakter hidup manusia Jawa yang banyak menggunakan simbol dalam arsitektur bangunannya. Simbolisasi ini merupakan metafisika yang masuk dalam kerangka wacana batin ini, memang sulit jika dimaknai secara rasional seperti halnya falsafah yang dianut bangsa barat. Aspek-aspek ketimuran sering dianggap mistis karena gagasan pemikirannya banyak yang sulit dipahami, diterima akal dan diterapkan dalam praktik sosial-budaya.

Kini, Keraton Surakarta seakan telah menjadi sesuatu yang patut dimuseumkan. Banyak hal yang telah banyak membuat miris saat mendengar perjalanan nasibnya. Keraton sekarang tak ubahnya rumah biasa, hanya saja struktur ruang dan arsitekturalnya serta penghuninya yang luar biasa. Namun status, kedudukan, serta kewibawaan Keraton Surakarta beserta raja telah jatuh, atau bahkan malah telah hilang.

Raja tidak lagi berkedudukan sebagai kepala pemerintahan tetapi hanya sebagai pengayom kebudayaan Jawa setelah wilayah kepemerintahannya diambil oleh negara yang dalam hal ini diserahkan kepada Pemerintah Kota Surakarta. Bukankah hal itu seakan berbalik 180 derajat jika dahulu kala Raja Keraton Surakarta memiliki tanah kekuasaan yang sangat luas, sedangkan saat ini wilayah kekuasaannya hanyalah Keraton Inti. Bahkan dalam praktiknya Keraton tersebut bukan lagi dalam kekuasaan raja karena sebagian masih ada pemungutan Pajak Bumi Bangunan (PBB).

Dengan ikhlas raja telah menerima nasibnya seperti halnya falsafah yang dianut turun temurun di dalam keraton: nut kelakone jaman. Kini raja memiliki kekuatan baru yang masih diakui oleh masyarakat pendukungnya yaitu sebagai sentral pelestarian dan pengembangan budaya Jawa serta sebagai pihak yang netral dalam dunia perpolitikan dengan menjadi seorang peacemaker.

Hilangnya kedudukan Keraton Surakarta sebagai pusat pemerintahan atau pusat perpolitikan ternyata tidak menghilangkan posisi sentral Keraton Surakarta sebagai pusat budaya Jawa yang bertugas menjaga dan mengemban kebudayaan Jawa. Peluang tersebut dapat menambah eksistensi Keraton Surakarta yang dapat memainkan aspek budaya secara kreatif sebagai simbol pengabdian kepada masyarakat Surakarta.

Hal tersebut telah dikembangkan oleh GRAy Koes Murtiyah, adik Pakubuwono XIII, yang mendirikan Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta Hadiningrat. Kegiatan yang diselenggarakan antara lain pendidikan dan pagelaran tari, karawitan, pedalangan dan pambiwara, keagamaan, keprajuritan, rekso pusaka, batik dan kepustakaan; telah menjadi cikal bakal pengembangan Keraton Surakarta sebagai afinitas kutural masyarakat Surakarta. Embrio tersebut jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin Keraton Surakarta akan kembali eksis sebagai sentral di tengah-tengah masyarakat Surakarta meskipun tidak lagi dalam lingkup politik kepemerintahan, namun budaya Jawa.

Selain itu status priyayi yang disandang oleh komunitas Keraton membuat orang bersangkutan menjadi tepandang dan dihormati. Keraton kemudian menjadi rujukan orang-orang penting seperti pejabat, tokoh politik, tokoh masyarakat, dan pengusaha, untuk berkunjung dengan berbagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan tersebut antara lain membahas persoalan bangsa, meminta doa restu, dan menerima gelar kehormatan.

Terkait pembahasan persoalan bangsa, Keraton masih dianggap sebagai sumber kearifan, selain karena raja berkedudukan sebagai pengayom masyarakat dan keberhasilannya memainkan peran sebagaipeacemaker. Sedangkan dalam kepentingan meminta doa restu, telah masuk unsur kepentingan politik meskipun tidak secara langsung. Umumnya para pejabat dan tokoh politik akan berkunjung ke Keraton pada saat akan menjelang pemilihan umum (pemilu). Saat raja memberikan restu, maka rakyat sepantasnya mendukung.

Sedangkan terkait untuk kunjungan untuk menerima gelar kehormatan, dalam faktanya menumbuhkan satu keganjilan saat Keraton Surakarta secara berkala memberikan gelar kebangsawanan kepada orang-orang di luar komunitas Keraton Surakarta, yaitu orang-orang non bangsawan. Dari tahun ke tahun, keroyalan pihak Keraton Surakarta dalam memberikan gelar semakin meningkat. Bahkan kriteria gelar yang oleh Nurcholis Madjid disebutkan ada tiga yaitu kualitas pribadi, kapabilitas intelektual, dan kerja nyata bagi kemajuan masyarakat terlihat tidak lagi diperhatikan.

Hal tersebut setidaknya telah tampak pada pemberian gelar kebangsawanan kepada Manohara Odelia Pinot dan Robby Sumampow. Kasus pemberian gelar kepada Manohara, telah menimbulkan perbedaan persepsi. Keraton berharap dengan memberikan gelar tersebut saat ia sedang menghadapi masalah dengan mantan suaminya dari Kerajaan Kelantan Malaysia, Manohara dapat memiliki tanggung jawab lahir dan batin, menjadi suri teladan nilai budaya, termasuk menyelesaikan masalahnya dengan cara yang terhormat. Namun pihak Manohara sendiri beranggapan bahwa pemberian gelar tersebut atas dasar perjuangan hidupnya yang gigih dan tak kenal lelah. Manohara juga mengatakan bahwa di Malaysia, ia mendapatkan gelar Cik Puan Tumenggung. Jadi ia ingin menunjukkan bahwa tidak hanya Malaysia yang dapat memberikan gelar, Indonesia pun bisa.

Sedangkan kasus pemberian gelar kehormatan kepada Robby Sumampow, seorang pengusaha tempat hiburan modern, menunjukkan ketidakberdayaan Keraton dalam menghadapi tantangan ekonomi. Pemberian gelar kepada Robby itu dianggap tidak memiliki relevansi sama sekali terhadap unsur budaya. Apalagi pemberian gelarnya dilakukan tidak dalam upacara Jumenengan, tetapi di panggung hiburan. Rupanya raja telah bertekuk lutut hingga status kebangsawanannya seakan sudah tidak berarti apa-apa lagi.

Apabila pemberian gelar kehormatan ini telah menjadi benda ekonomi yang memiliki nilai jual tinggi, mungkin tidak mengherankan apabila raja pun rela mengorbankan gelar kebangsawanannya sendiri. Mengingat kebutuhan ekonomi Keraton yang banyak, sedangkan subsisi dari negara sedikit. Adapun komersialisme dan kapitalisme yang terjadi di lingkungan Keraton Surakarta tidak menyuplai dana terhadap kebutuhan ekonomi Keraton sendiri.

Kini Keraton Surakarta sering hanya dipandang sebagai cagar budaya dan simbol kejayaan feodalisme yang telah mati. Pandangan yang berawal dari gerakan intelektual kelompok pemuda didikan Jepang ini kemudian memunculkan Gerakan Anti Swapraja. Gerakan ini beranggapan bahwa menjadikan Keraton Surakarta sebagai daerah istimewa (swapraja) hanyalah akan memberikan raja berikut Keraton Surakarta kekuasaan politik dan wilayah, yang mana itu berarti pula menghidupkan kembali semangat feodalisme.

Sejarah yang telah terjadi ini mungkin memang tidak bisa disalahkan. Tetapi ketika melihat, mendengar, dan membaca pro-kontra penetapan Daerah Istimewa Yogyakarta berikut kedudukan Sultan saat ini sebagai gubernur, bukankah pengalaman sejarah yang pernah dimiliki Keraton Surakarta ini bisa dijadikan tolok ukur?

Bukan dengan maksud menghidupkan kembali semangat feodalisme yang dianggap tidak sejalan dengan genta demokrasi saat ini. Toh masyarakat Yogyakarta pun tidak pernah berontak dengan kepemimpinan Sultan. Aset-aset budaya masih terjaga dengan baik tanpa meninggalkan sisi kepariwisataannya. Tetapi memang jika Surakarta kemudian dikembalikan lagi sebagai daerah swapraja dengan kekuasaan kembali ke raja Surakarta, akan seperti membalikkan kembali roda sejarah yang telah berputar, dan itu akan sulit direalisasikan.

Jadi ada baiknya negara mempelajari kembali sejarah perjalanan Surakarta, khususnya Keraton Surakarta. Setidaknya kewibawaan raja tidak dijatuhkan seperti saat ini. Jika Keraton memang merupakan asset pariwisata, setidaknya kondisinya akan lebih terawat sehingga eksistensi Keraton Surakarta pada khususnya, dan eksistensi kota Surakarta bahkan Indonesia dapat meningkat. Bukankah asset pariwisata juga merupakan sarana promosi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah dan negara? Tetapi jika dalam kondisi yang sekarang, sepertinya tidak layak untuk dipromosikan.


Keraton Surakarta yang dikatakan telah kehilangan statusnya sebagai penguasa tanah Jawa setelah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keraton Surakarta bahkan juga dikatakan telah kehilangan hampir segalanya. Sebagai bagian dari NKRI tentunya sudah mutlak untuk mengikuti tata aturan yang telah diatur negara. Tata aturan tersebut justru menjadikan Keraton Surakarta lebih terkekang dan hanya dijadikan asset pariwisata dengan bungkus komersialisme. Dalam hal tersebut, maka tentunya negara juga dapat dikatakan telah kehilangan jati dirinya.

»»  Selengkeapnyaaaa...

APA ARTI MATARAM ?


Sebagai bangsa yang tidak setya dan menghormati atas jati diri bangsa nya sendiri yang bahkan  terpedaya - kepencut dengan budaya manca seiring munculnya idiologi serta imperialisme spiritual serta membanjirnya revolusi tehnologi informtika telah menyebabkan para penyelenggara negara gamang sehingga membiarkan semua inviltrasi begitu mudah masuk tanpa adanya tameng/strategi cultural empowerment dn guna mempertahankan budayanya sendiri.

Sedangkan bangsa yang maju adalah bangsa yang masih tetap menjunjung tinggi budayanya. Bangsa Jepang dapat maju karena tetap mempertahankan budaya spiritual "SINTO"nya. Merasa sebagai titisan Dewa Matahari yang memberinya kekuatan dan terang maka mereka berjuang dengan spirit mati - matian dan bila berbuat aib jalan terhormat adalah harakiri atau setidaknya suka cita mengundurkan diri dari jabatan setinggi apapun. Bangsa Yahudi dapat maju karena tetap mempertahnkan budaya spiritualnya"KABALA", bangsa Jerman dapat maju karena mereka merasa turunan Arya dan RRC dapat maju karena mempertahankan budaya spiritual KONG HU CHU dan atao TAO nyaKorea dapat maju karena mempertahankan budaya spiritual CHI IN nya. Tapi bagi INDONESIA ?.Quovadis! 
(Gb. Bendera Nagari Mataram)

Kebohongan yang telah diprakarsai oleh rezim Pak Harto dengan menafikan tanggal lahir PANCASILA dan membungkus  begitu rapi latar belakang dibalik G30S PKI, sehingga Bung Karno dinyatakan sebagai orang yang mengkudeta dirinya sendiri, sebagai upaya DESOEKARNOISASI dan kekuasaan sebagai panglima merupakan awal kehancuran bangsa & negara. Apa lagi sejak anak2 bangsa ini menginjak dewasa yang ditandai saat Pemilu tiba  terjadi  indoktrinasi bahwa para pemangku pendidikan baik negeri maupun swasta harus memenangkan Pohon Beringin sehingga Pemilu yang jurdil bebas & rahasia hanyalah sloganistis belakan Karena peserta didik bila ingin lulus ujian dan atau naik kelas hanya ada satu kunci yakni ',EMUSIK TANDA GAMBAR NO.2'! Barang siapa guru dan atau TU yang kedapatan memilih bukan no. 2 hukuman pasti dijatuhkannya. Dan pasti  ketahuan karena tanda gambar oleh ketua TPS diberinya nomer urut!

Nah pengalaman penyaji yang sangat memprihatinkan manakala berhadapan dengan mahasiswa di Jogya sekalipun, setiap ada kesempatan diajukan pertanyaan apa arti - makna dari kata "JAWA", mereka tahunya hanya Etnic - Suku saja apa lagi kata Mataram tak diketahuinya.

Oleh karnanya via forum ini yang dalam waktu relatif singkat telah beranggotakan 1401 warga kami sangat berharap kersoa samya gumregut cancut tali wanda sebisa mungkin ikut menyebarkan kembali nilai - nilai luhur bangsa dan sekaligus menghayatinya.

Berbicara masalah budaya, Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Mataram (III, 1614 -1645) yang merupakan raja sufistik itu, beliau juga mewariskan kitab “Sastro Gending” yang antara lain dalam, bait ke 16, pupuh "Sinom", menyatakan  sbb. :

Marma sagung trah Mataram/Kinon wignya tembang Kawi/Jer wajib ugering gesang/Ngawruhi titining ngilmi/Kang tumrap ing praja di/Tembung Kawi asalipun/Tarlen titising sastra/Paugeraning dumadi/Nora nana kang liyan tuduhing sastra//

Maksudnya kurang lebih : "Maka segenap keturunan Mataram/Harus menguasai tembang Kawi/Sebab untuk pegangan hidup wajib orang memahami kebenaran (hakekat) suatu ilmu/Yang erat hubungannya dengan kepentingan negara/Ilmu ini dapat dijumpai dalam bahasa Kawi (bahasa pujangga)/Yang tak lain adalah manifestasi sastra/Karena itu pedoman hidup/Tidaklah lain hanya dapat diperoleh dari petunjuk – petunjuk yang disiratkan dalam sastra itu (sendiri)”.

Mataram di sini bukanlah orang yang terlahir di Jawa melainkan semua anak – cucu yang hidup dan dibesarkan oleh Bumi Nusantara. Karena arti Mataram  menurut Bung Karno yang (banyak diyakini) asli Surakarta Hadiningrat itu yang oroknya diberi nama Koesno tentu erat kaitannya dengan yang memiliki nama Malikul Koesno (PB X) sementara di Bali diberi nama Ida Bagus Made Karno, dan dalam kalangan terbatas diketahui beliau memiliki gelar BRM. RM. Sunan Joyo Koesoemo, dan atau RM. Siryo Kusumo (walahu 'alam bhishawab)  menjelaskan  bahwa “Mataram adalah berarti Ibu”. Masih ada perkataan Mataram itu misalnya dengan perkataan Mutter di dalam bahasa Jerman yang berarti Ibu. Mother dalam bahasa Inggris – Ibu. Moeder dalam bahasa Belanda – Ibu. Mater dalam bahasa Latyn – Ibu. Mataram berarti Ibu. Demikian kita cinta kepada bangsa dan tanah air dari jaman dulu mula, sehingga negeri kita, Negara kita, kita putuskan – Mataram – “. (Apa Sebab Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila , amanat PJM. Presiden Soekarno pada 24 September 1955 di Surabaya. hal. 18 – 19).

Nyumanggaaken kawula namung sakdremi dados Pemulung kewala//SAMPURNA
Sungkem kawula, Youth Empowering Institution/Yayasan Lembaga Budaya Nusantara.




»»  Selengkeapnyaaaa...

Jumat, 02 Desember 2011

FULL PICT | Yogyakarta Era Hindia-Belanda

FULL PICT | Yogyakarta Era Hindia-Belanda


(Pabrik Gula Bantul 1890)

( Pabrik Gula Beran Sleman 1890)

(Pabrik Gula Rewelu 1890)

(Kecelakaan Kendaraan di JL. Magelang 1928)

(Loji Kecil di Yogyakarta)

     (Wilayah distrik Bintaran Kecamatan Mergansan Tahun 1890)

(Pekerja Batik Lukis Yogyakarta Tahun 1900-1940)

(Jembatan Kali Code 1890)

(Jalan Mayor Suryotomo 1890)

(Rumah Penduduk Yogyakarta 1890)

(Sebuah Pasar Tradisional Di Yogyakarta 1890)

(Jalur Kereta Api Secang-Parakan di tahun 1910-1920)

(Jalan Pangeran Senopati Tahun 1890)


Nah, kalo sekarang bagaimana ? :)

»»  Selengkeapnyaaaa...

Kamis, 01 Desember 2011

Lecehkan Keraton, George Aditjondro Dilaporkan ke Polisi


IMAGES/DHONI SETIAWANGeorge Junus Aditjondro.
YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Forum Masyarakat Yogya melaporkan penulis buku George Junus Aditjondro ke Kepolisian Daerah Yogyakarta, Kamis (1/12/2011), dengan tuduhan melakukan tindak pidana pelecehan lembaga adat, yaitu Keraton Yogyakarta.
Selain melaporkan George, Forum Masyarakat Yogyakarta juga meminta George untuk membuar permohonan maaf terbuka kepada masyarakat Yogyakarta.
Pengaduan Forum Masyarakat Yogya (FMY) berawal dari pernyataan George dalam diskusi mengupas tuntas keistimewaan DIY: Tahta Untuk Rakyat, Tanah Untuk Rakyat, Membedakan Status Tanah Sultan Ground dan Paku Alam Ground, dalam Rancangan Undang-undang Keistimewaan DIY, Rabu (30/11/2011) di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Dalam forum tersebut, George mengatakan Keraton Yogya itu hanyalah kera yang ditonton.  
"Pernyataan ini sangat melukai perasaan masyarakat Yogyakarta. Kata-kata itu tidak selayaknya disampaikan dalam forum ilmiah," kata Koordinator FMY, Widihasto Wasana Putro.
Laporan FMY diterima langsung Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Brigadir Jenderal (Pol) Tjuk Basuki. Laporan tersebut tertuang dalam surat tanda bukti laporan bernomor SPBL/978/XII/2011/DIY/Ditreskrim tanggal 1 Desember 2011. Berlaku sebagai pelapor dalam kasus ini Sugeng Santosa dan tiga saksi utama, yaitu Jimmy Petrus, Ki Demang, dan Tagor Prakosa.
Selain lapor ke Polda DIY, FMY juga menghadap Rektor Universitas Sanata Dharma (USD), Wiryono Priyotamtama. Di universitas ini, George turut mengajar sebagai dosen tamu.
Menyikapi hal ini, pihak USD berencana menggelar rapat untuk menentukan sikap atas pengaduan FMY terhadap George.
"Selama ini USD sangat terkenal dengan figur-figur dosen yang kuat. Mereka paham benar dan sangat menghargai Keraton Yogyakarta. Tapi mengapa ada dosen tamu USD yang justru bersikap demikian," tambah Widihasto.
Minggu depan, FMY juga berencana datang ke Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, untuk mempertanyakan penyelenggaraan diskusi yang dinilai tidak memperjuangkan keistimewaan Yogyakarta. Padahal, universitas ini didirikan di atas tanah Keraton Yogyakarta.


http://regional.kompas.com/read/2011/12/01/22212263/Lecehkan.Keraton..George.Aditjondro.Dilaporkan.ke.Polisi


»»  Selengkeapnyaaaa...

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...